Featured Post

Catatan Tambahan PJJ 21 – 27 April 2024

Gambar
  Ulangan 14 : 22 – 29   Thema :  Nehken Persepuluhan Tanda Kehamaten Bahasa Karo   " Serapkenlah persepuluhen, eme sepersepuluh i bas ulih jumandu nari tep-tep tahun. Emaka lawes lah ku ingan si sada e si nggo ipilih TUHAN Dibatandu man ingan ersembah. I bas ingan e i adep-adepen TUHAN, panlah persepuluhen gandumndu, anggurndu, minak saitunndu ras anak si pemena i bas lembundu ras biri-birindu. Lakokenlah enda gelah banci kam erlajar rusur mehamat man TUHAN Dibatandu. Adi persepuluhen i bas ulih latih bekas pemasu-masun TUHAN man bandu e ndauhsa iakapndu mabasa i bas rumahndu nari ku ingan ersembah, bagenda lah perbahanndu: dayaken ulihndu latih e, emaka baba tukurna ku ingan ersembah si sada e. Tukur lah alu e kai kam merincuh: daging lembu, anak biri-biri, anggur, bir; emaka i bas ingan e, i adep-adepen TUHAN Dibatandu, panlah si e kerina dingenndu ersenang-senang ras keluargandu. Ula lupaken kalak Lewi si ringan i kotandu, erkiteken la lit ertana jine. Fakta Dan Makna i 1. S

"Penyakit Sigundari Dan Kampuh"

HIV AIDS perlahan lahan merubah makna kata dan kebudayan Karo.

Besarnya jumlah penderita penyakit HIV AIDS di Kabupaten Karo perlahan lahan merubah kata kata, makna kata dan dakhirnya kebiasaan baru di kabupaten Karo.  Jika seorang penderita HIV AIDS meninggal dunia, maka kebiasaan adat dalam kematiannya pun dibuat berbeda.



Biasanya Masyarakat Karo akan melakukan acara adat di jambur (Loosd) atau di tempat yang lapang yang diberikan peneduh.  Lalu acara adat pun dijalankan baik dari keluarga laki laki (ayah/suami) maupun dari keluarga perempuan (ibu/istri).  Siapapun yang meninggal dunia, apakah suami atau ayah, istri atau ibu ataupun anak dalam keluarga, maka ketika acara adat dilakukan  semua kelengkapan adat (sangkep nggeluh) akan berkumpul memberikan penghormatannya.  Sangkep nggeluh dalam kebudayaan Karo terrdiri dari Senina/sembuyak,  kalimbubu dan anak beru.

 
Senina/sembuyak adalah semua kerabat yang satu marga dengan si suami dan atau semua kerabat yang berbeda marga namun karena ada peristiwa adat yang lain dianggap satu marga sehingga tetap menjadi senina.  Saya bermarga Ginting, dan semua bermarga Ginting adalah pihak senina atau sembuyak saya.  Namun bisa juga marga sembiring atau karo karo pun menjadi senina saya jika ibu kami saudara kandung.   Atau juga bisa menjadi senina atau sembuyak kalau istri kami  bersaudara.

Kalimbubu adalah semua pihak yang marganya sama dengan beru dari Ibu Kandung saya.  Kalau ibu saya beru tarigan, maka semua yang marga tarigan adalah kalimbubu saya.  Juga kalau istri saya beru karo, maka semua yang bermarga karo karo adalah kalimbubu saya. Pendeknya yang menjadi kalimbubu adalah keluarga dari pihak yang memberikan wanita (ibu, istri, menantu) kepada keluarga si laki laki.


Anak beru adalah kebalikan dari Kalimbubu.  Anak beru adalah pihak yang menikahi wanita atau anak  perempuan  dari si lakil laki .  Misalnya saya bermarga Ginting, maka pihak yang menikahi adik saya (beru ginting) ataupun anak perempuan saya adalah menjadi anak beru saya.


Nah dalam setiap peradatan pernikahan, kematian, memasuki rumah baru, atau pesta pesta syukuran lainnya kelengkapan sembuyak, kalimbubu dan anak beru ini adalah syarat untuk terselenggaranya  pesta adat.  Dalam acara kematian pun ketiga sangkep nggeluh ini akan berkumpul memberikan penghormatan adat secara bergantian dimulai dari pihak sembuyak, kalimbubu dan terakhir anak beru. Mereka akan bergantian memberikan kata kata adat (sambutan, pedah/petuah maupun harapan) kepada pihak yang sedang berduka dan mengadakan  acara adat.

Jika yang meninggal adalah seorang yang dihormati, karena kerajinan dan perhatiannya kepada kerabatnya,  dan juga karena karakter dan semua prestasi kehidupannya, maka banyak sekali orang yang akan berkumpul dan memberikan kata kata penghiburan dan nasihat kepada keluarga yang  ditinggalkan.  Yang datang menghadiri acara pun akan berduyun duyun dan mereka duduk berkelompok pada tempat yang sudah diatur secara adat;  ada tempat duduk kelompok sembuyak, kelompok  kalimbubu dan kelonpok anak beru tadi.


Nah jika seseorang yang meninggal itu karena penyakit HIV AIDS, maka terlihat sekali bedanya dalam acara adat. Yang menghadiri pun seolah olah terpaksa datang, lalu acara dibuat sesingkat mungkin, dan tempat beracara pun  dibuat pun sedemikian rupa sehingga agak jauh dari lokasi peti jenazah.  Terlihat bahwa acara dibuat (seolah terpaksa) hanya menjalankan adat.  Namun tetap ada kreativitas orang Karo dalam menyebutkan jenis penyakit yang  menyebabkan kematian yang meninggal :”penyakit sigundari”.  Arti harfiah dari “penyakit sigundari”  adalah “Penyakit Masa Kini atau Penyakit Yang Sekarang”.  Maksudnya penyakit sigundari adalah tidak lain dan tidak bukan HIV AIDS.   Diseluruh wilayah Kabupaten Karo, sekarang sudah jelas dan sudah mengetahui makna “penyakit sigundari” adalah penyakit HIV AIDS.


Baba Kampuh Ndu Pa.

Kata atau ungkapan (istilah)  yang juga muncul sejalan dengan merebaknya penyakit HIV AIDS adalah “Baba Kampuhndu Pa”.  Baba Kampuh Ndu Pa, mengandung arti harafiah, baba artinya bawa, kampuh artinya sarung Pa berati Pak.  Ungkapan Baba Kampuhndu mengandung arti bawalah sarungmu.


Kampuh adalah salah satu alat atau kelengkapan Adat Karo.  Setiap wanita dan laki laki yang menghadiri pesta adat biasanya membawa kampuh atau sarung.  Sarung ini akan dipakai kalau tiba saatnya menari bersama, namun kalau hanya berbicara atau memberikan sambutan atau petuah, biasanya sarung ini dilipat sampai panjangnya sekitar 30-40 Cm, dan digulung seperti bambu dan diletakkan di bahu kaum laki laki.  Sedangkan bagi kaum perempuan sarung dipakai seperti kain sarung biasa.

Para Orang Dewasa (perbapan) Suku Karo Memakai Kampuh
 Sumber Foto http://www.youtube.com/user/bambangkaro1



Dimasa lalu kampuh adalah perlengkapan tidur bagi anak laki laki yang remaja menjelang dewasa.  Anak anak laki laki yang sudah remaja dan menjelang dewasa tidak lagi tidur di rumah (rumah adat yang tidak mempunyai kamar). Namun mereka tidur di Jambur dengan teman teman sebaya.  Biasanya kain sarung atau kampuh ini dibawa dari rumah dan disediakan oleh ibu kandung mereka untuk melawan rasa dingin di Bumi Kabupaten Karo yang memang sejuk atau bahkan dingin.


Kalau bukan disediakan oleh Ibunya, maka kampuh atau sarung ini disediakan oleh teman perempuan (pacar) yang dalam bahasa karo disebut Rondong. Jika ada anak muda yang sudah mempunyai kenalan atau pacar dari kampungnya sendiri ataupun dari kampung sebelah maka dia akan bangga sekali memakai kampuh, atau kain sarung ini saat tidur di Jambur.


Nah pengertian baba kampuhndu ini lah sekarang mengalami pergeseran makna.  Jika di rumah ada anak atau istri  berkata kepada ayah atau suaminya yang hendak pergi keluar rumah  “baba kampuhndu pa”  artinya “Bawalah Kondom”, atau “ jangan lupa bawa kondom”.


Miris lah hati  mendengarnya, betapa kondom itu sekarang dianalogikan dengan Kampuh yang nilai adatnya sangat tinggi.  Kebiasaan (suami) yang suka jajan diluar tentu jika terjangkit penyakit HIV AIDS juga akan menulari istrinya.  Sulit dilarang, karena maraknya tempat tempat yang menyediakan wanita penghibur, maka kata kata yang mengandung makna putus asa dan kehati hatian (sekaligus kekecewaan) terpaksa diucapkan “Adi kudarat kam, baba kampuh ndu”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indah Pada Waktunya / Pengkhotbah 3:11-15 ( Pekan Penatalayanan Hari Keempat)

Catatan Tambahan PJJ 1 – 7 Oktober 2023

Catatan Tambahan PJJ 27 Agustus – 2 September 2023